Turis Telah Kembali, Jogja dilanda Demam Overtourism
Sebagian orang mungkin sudah sering mendengar istilah overtourism. Pada penelitian Doods & Butler 2019, dikemukakan bahwa overtourism adalah keadaan ketika jumlah wisatawan yang berlebihan di suatu destinasi tertentu yang dapat menimbulkan dampak positif maupun negatif pada semua jenis pada masyarakat setempat yang terlibat.
Fenomena overtourism di kota Yogyakarta telah dijumpai di beberapa destinasi. Bagaimana tidak, kota Gudeg ini memiliki daya tarik tersendiri terutama dari aspek pariwisata. Tak heran lalu lintas padat sudah banyak tersebar, khususnya beberapa destinasi yang sering menjadi kunjungan wisatawan. Misalnya yang paling ikonik, kawasan Malioboro. Siapa yang tidak tahu dengan Jalan Malioboro? Jalan ini terletak di jantung kota yang tidak pernah sepi pengunjung.
Di sepanjang ruas dapat kita temukan seperti aktivitas sosial ekonomi di pasar dan deretan toko, pilihan moda transportasi seperti becak dan delman, serta bangunan bangunan etnik khas Jawa. Menurut buku “Regol: Semen Truntum-Sidaluhur Kraton Ngayogyakarta” karangan KRT. Waseso mempunyai makna yang cukup berarti adalah penggalan suku kata Ma-Li-Obor-o. “Ma” “Li” berarti lima, “obor” berarti obor api. Malioboro berati “Ma Lima” itu harus diobor, dibakar yang dengan demikian jikalau kita melintasi jalan Malioboro maka dibutuhkan sikap yang berani mengobor, membakar, meninggalkan, memusnahkan segala bentuk kejahatan dalam menciptakan semangat baru.
Saat sedang menelusuri ruas Malioboro menuju pasar Bringharjo, terdengar keluhan dari seorang penjual kepada pendatang. “Mbak, mbok di beli tape saya. Orang orang nih cuma datang lihat lihat, gak pada beli.” Ucap Ibu penjual tape keliling saat menawarkan dagangannya di Pasar Bringharjo. Cara pandang baru overtourism tidak hanya dilihat dari data statistik saja, namun dapat di telisik dari suara warga masyarakat sekitar. Dewan Perjalanan dan Pariwisata Dunia (The World Travel & Tourism Council’s/WTTC) memperkirakan kontribusi sektor perjalanan dan pariwisata terhadap ekonomi dunia mencapai US$9,5 triliun pada 2023. Faktanya melesatnya ekonomi dari pariwisata, ada sisi lain yang orang belum ketahui yakni polusi udara, kebisingan, kepadatan lalu lintas, melonjaknya pasaran harga, dan lain lain.
Namun siapa sangka di salah satu destinasi lain, dibalik megah dan suksesnya taman hiburan Heha Skyview memberikan pengaruh yang kurang baik. Warga di sekitar Kapanewon Patuk, Gunungkidul, mengeluhkan polusi suara yang ditimbulkan dari bus-bus yang parkir di belakang Kawasan pemukiman warga. Dilansir dari media Tugu Jogja, keluhan tersebut dilaporkan oleh Tenaga Pendidik yang diunggah oleh salah satu pemilik akun Twitter Astiha (COMMISSION OPEN) @astiha draw. Unggahan tersebut berisi tentang keluhan halaman parkir bus Heha Skyview menempel langsung dengan area sekolah, SMP Negeri 1 Patuk yang sering terganggu dengan bus-bus yang sedang parkir. Saat mesin bus sedang dihidupkan dan serombongan supir sedang bosan, mereka adu klakson sehingga menimbulkan dua macam polusi, yaitu asap dan suara.
Kemudian isu yang paling hangat dari overtourism di Jogja adalah darurat sampah. Dilansir dari Tribun Jogja, Pemerintah khawatir persoalan sampah bisa coreng citra pariwisata Yogyakarta. “Citra sebuah kota wisata akan menjadi negatif jika kondisi semacam itu dibiarkan. Lingkungan dan suasana yang kondusif bisa berpengaruh besar terhadap pariwisata, melalui perwujudan unsur aman, tertib, bersih, sejuk, indah, ramah, dan kenangan sebagaimana semangat sapta pesona,”kata PLT Kepala Dinas Pariwisata DIY, Kurniawan. Beliau telah menggerakkan masyarakat dan berbagai unsur terkait, untuk melakukan pengolahan sampah yang efektif.
“Paling sering di Alun Alun Kidul Mbak. Setiap pagi sebelum beraktivitas, saya olahraga jogging di Alkid. Itu kalo malam rame banget sampai macet, nah paginya itu isinya lautan sampah sudah menumpuk di setiap titik jalur keluar alun alun. Sampah yang mendominasi jenis sampah plastik yang tidak bisa di daur ulang lagi.” ujar Vika, warga asli Tejokusumo, kapanewon Tegalrejo, kota Yogyakarta. Tak hanya di Alun alun saja, tumpukan sampah ditemukan di beberapa gang dan selasar jalan Malioboro. Seiring berjalannya waktu, jumlah sampah semakin meningkat di karenakan semakin padat aktivitas manusia juga, tidak cukup hanya dengan himbauan saja. Sehingga, perlu adanya Langkah Langkah pengelolaan sampah dalam jangka panjang.
Berbeda halnya dengan pendapat yang disampaikan oleh Dewandaru. Penduduk asli Kapanewon Pandak, Bantul justru menggaris bawahi dari sektor ekonomi, pengaruh positif yang diberikan pengunjung ialah transaksi jual beli. “Kalo saya pesannya, belanjakan uang kalian sebanyak mungkin! Beli produk lokal atau kerajinan asli Yogya. Supaya, perputaran uang terus berjalan dan semakin sejahtera baik pemerintah maupun warga setempat.” Ujar pria yang biasa disapa Deva ini. Tak lupa dari dampak negatif dia juga menambahkan “tolong jangan nyampah! Sekedar info, TPS pusatnya Jogja, Piyungan di tutup karena sudah melebihi kapasitas. Kalau di daerah saya masih desa, jadi sampahnya masih di bakar. Jadi kami ini sudah kewalahan dalam mengolah sampah, mohon para wisatawan setidaknya meminimalisir sampah dan tertib dalam membuang sampah pada tempatnya.”
Maka, jika dirunut sejauh ini overtourism berdampak besar bagi warga lokal seperti hilangnya makna atau keaslian arti dari kota Jogja, tidak memberikan value bagi warga lokal, dan hilangnya kebiasaan serta karakter yang sebelumnya telah terbentuk sebagai jatidiri kota itu sendiri. Dari segi sudut pandang pelaku sosial, untuk beberapa pemilik toko atau los dapat mendatangkan keuntungan. Sedangkan bagi pedagang asongan atau keliling, tidak selalu menjadi pertanda hal yang menyenangkan bahkan terkadang bersifat rugi karena pengunjung tidak berminat untuk membeli dagangan mereka, yang telah dibuktikan oleh Ibu penjual tape keliling.
Hal ini juga berlaku dari sisi kehidupan sosial, wisatawan yang kembali mengunjungi kota Yogyakarta pasca pandemic, justru sangat menguntungkan dalam kegiatan peningkatan perekonomian. Lain halnya dengan sisi lingkungan, tidak semua turis domestik maupun internasional memiliki kesadaran diri dan berdampak merusak lingkungan. Pada masa yang akan datang, jumlah wisatawan tumbuh secara berkelanjutan, sehingga perlu adanya Langkah Langkah penanganan dari semua stakeholders terkait diluar pemerintah, seperti para wisatawan, komunitas masyarakat, dan juga industri pariwisata berjibaku untuk menciptakan good impact dari overtourism.
Sumber:
https://www.researchgate.net/publication/332878624_2_The_enablers_of_overtourism